Sabtu, 24 November 2012

[CERPEN] PENGORBANAN


            Selasa, 13 November 1999. 17:33
“Ibu, belikan aku mainan itu.” Aku menunjuk-nunjuk boneka barbie berbalut baju warna pink itu. Mataku berbinar-binar saat menatap boneka barbie tersebut.
Akhir-akhir ini, teman-temanku selalu memamerkan koleksi boneka barbie terbarunya. Sedangkan aku, hanya bisa memandangi boneka-boneka yang mereka miliki. Dan sekarang, ketika aku melewati toko mainan ini, saatnya aku meminta boneka barbie kepada ibu. Sudah lama aku menginginkan boneka barbie. Aku ingin bermain boneka barbie dan mendandani boneka barbie tersebut dengan alat make-up milik ibuku. Dengan membayangkannya saja, aku sudah tersenyum-tersenyum sendiri. Ah, aku jadi tidak sabar buat mengambil boneka barbie tadi, setelah ibu membayarnya.
”Kapan-kapan saja, ya.” Aku bisa melihat senyuman dari bibir ibuku, setelah beliau mengatakan kalimat tadi. Dan, apa katanya tadi? Kapan-kapan saja?! Ya ampun, apa ibuku tidak bisa mengerti perasaanku? Aku ingin sekali boneka barbie itu. Aku sudah mengidam-idamkan dari dulu! Sekali lagi, aku menujuk boneka barbie tadi, ”Ibu, aku pengen itu. Tolong belikan.” Raut wajahku sudah tidak berbinar seperti tadi, tapi, aku tidak pantang menyerah. Aku menginginkan boneka barbie itu sekarang, bukan kapan-kapan saja.
            Tapi, ibuku tetap mengucapkan kalimat seperti yang diucapkan tadi. ”Kapan-kapan saja, Nak. Uang ibu buat beli makan keluarga kita.”
Dan seketika itu, aku menangis meraung-meraung di tengah jalan, tepatnya di depan toko boneka barbie tadi. Aku tidak peduli apa kata orang. Aku tidak malu. Karena yang aku inginkan sekarang, hanyalah boneka barbie....
                                                        ***
6 tahun kemudian...
”Prita, kamu tidak menginginkan sepeda motor, ya?” Temanku Devi bertanya dengan heran. Raut muka heran terpampang jelas di wajahnya.
Apa katanya tadi? Apa aku tidak menginginkan sepeda motor? Dari lubuk hati yang paling dalam, aku sangat ingin mempunyai sepeda motor sendiri. Bagaimana tidak? Aku sekarang sudah SMA kelas 1. Siswa seumuranku sekarang, banyak sekali yang berangkat sekolah sudah menggunakan sepeda motor pribadinya sendiri. Apalagi para cowok, malah sudah lincah sekali menaiki sepeda motor sendiri, tanpa perlu dibimbing lagi oleh orang tuanya.
Bukannya aku tidak bisa menaiki sepeda motor sendiri. Aku sudah bisa, kok. Aku sudah bisa menaiki sepeda motor sendiri ketika kelas 7 SMP. Tapi, bukan itu masalahnya. Masalah yang aku hadapi sekarang, aku ingin mempunyai sepeda motor sendiri. Tanpa perlu naik ojek setiap berangkat sekolah.
Malamnya, setelah Ani bertanya kepadaku tadi, aku langsung mendatangi ibuku yang sedang berada di ruang tamu menonton televisi.
”Bu, gimana tadi kerjanya? Capek?” tanyaku setelah aku mendudukkan diri di kursi sebelah ibu.
”Hai sayang, kerjanya lancar, kok. Lumayan capek, sih. Gimana kamu sendiri? Apa kamu merasa kesulitan terhadap perubahan lingkungan sekolahmu? Jadi anak SMA pasti bangga, ya?” Ibuku bertanya itu dengan senyum khasnya.
”Alhamdulillah tidak, kok, Bu. Prita langsung bisa menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekolah baru Prita. Hihi, ya begini ini, Bu. Jadi anak SMA jadi harus lebih dewasa daripada sebelumnya.” Tidak lupa, aku menyunggingkan senyum itu kepada ibuku. Setiap berbicara dengan ibuku, aku selalu memasang senyum tulusku. Karena aku mencintai beliau.
”Alhamdulillah. Kamu tidak makan, Nak? Biar Ibu suapin. Sudah lama ibu tidak nyuapin kamu.” Aku langsung mengumbar tawa geliku.
”Ibu ini ada-ada saja, masa Prita anak SMA mau disuapin, sih, Bu? Haha.”
Ibuku ikut-ikutan tertawa. Tawa khas ibuku.
Setelah kami menghentikan tawa tadi, aku langsung mengalihkan pembicaraan. ”Bu, sebenarnya, Prita mau bilang sesuatu sama Ibu.” Aku bisa merasakan gemetar dari bibirku. Aku selalu takut ketika berbicara dengan ibu apabila sedang meminta sesuatu. Dari kecil.
”Apa sayang?” Sekarang, ibuku tidak lagi menatap layar televisi, melainkan menatapku. Beliau sedikit memiringkan tubuhnya, agar bisa sepenuhnya menatap aku.
”Prita minta sepeda motor, ya, Bu?” Lagi-lagi aku menggigit bibir.
Mataku terus menatap mata ibu penuh ketakutan. Inilah sifat anehku. Seperti yang sudah aku jelaskan sebelumnya. Aku bisa merasakan helaan nafas ibuku mengenai tangan mungilku. Helaan nafas yang sangat keras. Aku tidak tahu apa yang sedang dirasakan ibu sekarang.
”Prita...,” kata ibuku lemah. ”Ibu tidak punya uang, Nak.” lanjutnya.
            Jegler! Kalimat itu meninju hatiku. Kalimat yang pernah diucapkan sebelumnya. 6 tahun lalu. Ketika aku meminta berbagai mainan boneka barbie kepada ibu.
Dan sekarang, kalimat itu terucap lagi. Ketika aku meminta sepeda motor.
”Kan kamu sudah punya sepeda, Nak...,” kata ibuku lagi.
Oke, aku memang mempunyai sepeda. Sepeda bututku yang ibu belikan untuk hadiah ulang tahunku ketika aku berumur 10 tahun. Tapi sekarang, aku sudah SMA. Naik sepeda? Bukannya aku gengsi, tapi sekolahku sangat jauh dari rumah. Jarak rumahku dengan sekolahku sekita 15KM. Apa dengan naik sepeda aku bisa mencapai sekolah tepat jam setengah 7? Aku pikir, itu sangatlah konyol.
”Kamu juga bisa naik ojek, Nak. Kan Mang Udin sudah jadi tukang ojek pribadimu.” Lanjut ibuku.
Naik ojek dengan Mang Udin? Itu sudah kebiasaanku dari dulu. Dia memang sudah jadi tukang ojek pribadiku. Tapi, apa salahnya aku ingin mempunyai sepeda motor pribadi? Tidak hanya dengan tukang ojek pribadi....
”Maaf, ya, Nak. Uang ibu buat makan keluarga kita.”
”Oke, tidak apa-apa, Bu. Prita mau tidur dulu. Prita capek tadi di sekolah ada tugas menumpuk.”
Aku langsung meninggalkan ibu dari sofa keluarga, dan menuju kamarku. Aku membuka pitu kamarku, dan menutupnya dengan keras—dengan kata lain; membantingnya—. Sampai kamar, kubantingkan tubuhku di kasur, dan menutupi wajahku dengan bantal.
Aku menangis sejadi-jadinya.
                                                ***
2 tahun kemudian...
AKU LULUS! Horeee!
Aku melompat-lompat kegirangan di kamarku sendiri, sambil menatap layar komputerku.
Pengumuman kelulusan SMA tahun ini, memang diumumkan via online. Dan sekarang, aku sedang membuka website dinas Surabaya. Namaku terpampang di barisan paling atas! Ya! Aku termasuk 10 besar se Surabaya! Tepatnya, aku urutan 5 teratas se Surabaya! Dengan nilai yang memuaskan! Ya tuhan, ini benar-benar keajaiban.
Aku buru-buru memberitahu kabar ini kepada ibuku.
Ibuku berada di dapur, aku langsung merangkulnya dari belakang.
”Wohoo, ada apa sayang?” Ibu mematikan kompor, dan langsung menyerbeti tanganya yang tampak kotor.
”Aku lulus, Bu! Lulus!” Aku berteriak girang sambil melpompat-lompat tidak jelas.
Tapi, reaksi ibu tidak seperti yang aku inginkan, ibu justru pergi meninggalkan aku dan menuju kamarnya.
Kalian tahu apa yang sedang aku rasakan? Sedih. Ya. Sangat sedih. Kecewa. Ibuku tidak gembira melihat aku gembira.
Tapi, tiba-tiba ibuku kembali lagi sambil membawa amplop. Amplop itu diserahkan ke aku. Aku membukanya. Dan langsung kulihat tumpukan uang yang bernominal seratus rubu rupiah. Sangat banyak. Dan aku juga menemukan buku bank. Aku membukanya dan meneukan tulisan transaksi tabungan. Di barisan paling bawah, transaksi uang di buku itu sebesar 20juta rupiah.
Mulutku menganga lebar melihat semua ini. Kutatap ibuku sambil menaikkan sebelah alis. Tapi ibuku hanya tersenyum penuh lembut.
”Itu uang tabungan Ibu, Nak.”
”Ibu..., dapat uang dari mana?” Aku masih sulit memercayai semua ini.
”Dari uang hasil kerja Ibu. Ibu sudah mengumpulkan uang ini sejak kamu kecil. Dari dulu, kamu selalu minta ini itu, tapi tidak pernah ibu belikan. Uang buat beli semua itu, Ibu tabungkan, Nak. Buat biaya kuliahmu.” Ibu tersenyum dengan lebar.
Biaya kuliahku?
Tanpa ba-bi-bu lagi, aku langsung memeluk ibu dengan tangisku yang menetes ke daster ibu. Kami berpelukan sangat erat. Ibuku juga menangis. Kami semua bahagia.
”Maafkan ibu selama ini, ya, Nak.”
Ibuku tidak salah. Ibuku sudah membahagiakan aku, dan mulai saat ini, aku juga akan membahagiakan ibuku. Harus.
                                                            ***
5 tahun kemudian...
Aku memakirkan mobil yaris merahku ke dalam pekarangan rumah masa kecilku. Setelah aku turun dari mobil itu, aku mengetuk pintu. Ketukan ke 3, tampak seorang ibu yang wajahnya sudah mulai keriput. Itu ibuku.
”Assalamu’alaikum, Bu.” Aku menyalami ibuku dengan hormat.
Ibuku kaget dengan kedatanganku tiba-tiba. Beliau langsung memelukku.
”Apa kabar, Nak?” tanya ibuku setelah melepaskan pelukan dari aku.
”Baik, Bu. Oh iya, boleh Prita masuk?” Ibuku langsung tersenyum dan menggandeng aku masuk.
Setelah berhasil duduk berdua dengan ibu, aku mengeluarkan buku dari dalam tas. Dan kukasihkan ke ibu. Tatapan ibu setelah membuka buka itu, adalah tatapan tidak percaya. Mulutnya menganga lebar.
Ya, buku itu berisi bukti pemberangkatan haji ibuku pada tahun 2019 mendatang. Aku telah mendaftarkan ibu haji. Uang itu berasal dari hasil penjualan ke 5 novelku. Semua novelku sudah menjadi best seller. Ya, sudah 4 tahun ini aku menjadi penulis. 2008 lalu, aku berhasil menerbitkan novel debutku. Novel itu diterbitkan ketika aku menjalani kuliah semester ke 3.
Cita-citaku dari dulu memang menjadi penulis. Dan sekarang, impianku tercapai. Semua berkat ibuku.
Aku juga harus memenuhi cita-cita ibuku dari dulu. Berangkat naik haji. Dan sekarang aku berhasil.
Ibuku langsung memelukku tak percaya. Beliau menangis dengan sangat kencang. Aku hanya bisa menyungginggkan senyumku.
Sekarang, ibuku berhasil membahagiakan aku, dan aku juga berhasil membahagiakan ibuku.
Ya, sekarang aku jadi mendapat pelajaran penting.
Betapa indahnya jika kita tidak membantah orang tua.
Betapa indahnya jika kita menyiapkan semuanya jauh dari sebelum hari itu.
Betapa indahnya jika kita melakukan semuanya dengan pengorbanan.
Karena pengorbanan dengan tulus, akan mendapatkan buah yang sangat manis.
Kalian tidak akan menyesal.

            Selasa, 13 November 1999. 17:33
“Ibu, belikan aku mainan itu.” Aku menunjuk-nunjuk boneka barbie berbalut baju warna pink itu. Mataku berbinar-binar saat menatap boneka barbie tersebut.
Akhir-akhir ini, teman-temanku selalu memamerkan koleksi boneka barbie terbarunya. Sedangkan aku, hanya bisa memandangi boneka-boneka yang mereka miliki. Dan sekarang, ketika aku melewati toko mainan ini, saatnya aku meminta boneka barbie kepada ibu. Sudah lama aku menginginkan boneka barbie. Aku ingin bermain boneka barbie dan mendandani boneka barbie tersebut dengan alat make-up milik ibuku. Dengan membayangkannya saja, aku sudah tersenyum-tersenyum sendiri. Ah, aku jadi tidak sabar buat mengambil boneka barbie tadi, setelah ibu membayarnya.
”Kapan-kapan saja, ya.” Aku bisa melihat senyuman dari bibir ibuku, setelah beliau mengatakan kalimat tadi. Dan, apa katanya tadi? Kapan-kapan saja?! Ya ampun, apa ibuku tidak bisa mengerti perasaanku? Aku ingin sekali boneka barbie itu. Aku sudah mengidam-idamkan dari dulu! Sekali lagi, aku menujuk boneka barbie tadi, ”Ibu, aku pengen itu. Tolong belikan.” Raut wajahku sudah tidak berbinar seperti tadi, tapi, aku tidak pantang menyerah. Aku menginginkan boneka barbie itu sekarang, bukan kapan-kapan saja.
            Tapi, ibuku tetap mengucapkan kalimat seperti yang diucapkan tadi. ”Kapan-kapan saja, Nak. Uang ibu buat beli makan keluarga kita.”
Dan seketika itu, aku menangis meraung-meraung di tengah jalan, tepatnya di depan toko boneka barbie tadi. Aku tidak peduli apa kata orang. Aku tidak malu. Karena yang aku inginkan sekarang, hanyalah boneka barbie....
                                                        ***
6 tahun kemudian...
”Prita, kamu tidak menginginkan sepeda motor, ya?” Temanku Devi bertanya dengan heran. Raut muka heran terpampang jelas di wajahnya.
Apa katanya tadi? Apa aku tidak menginginkan sepeda motor? Dari lubuk hati yang paling dalam, aku sangat ingin mempunyai sepeda motor sendiri. Bagaimana tidak? Aku sekarang sudah SMA kelas 1. Siswa seumuranku sekarang, banyak sekali yang berangkat sekolah sudah menggunakan sepeda motor pribadinya sendiri. Apalagi para cowok, malah sudah lincah sekali menaiki sepeda motor sendiri, tanpa perlu dibimbing lagi oleh orang tuanya.
Bukannya aku tidak bisa menaiki sepeda motor sendiri. Aku sudah bisa, kok. Aku sudah bisa menaiki sepeda motor sendiri ketika kelas 7 SMP. Tapi, bukan itu masalahnya. Masalah yang aku hadapi sekarang, aku ingin mempunyai sepeda motor sendiri. Tanpa perlu naik ojek setiap berangkat sekolah.
Malamnya, setelah Ani bertanya kepadaku tadi, aku langsung mendatangi ibuku yang sedang berada di ruang tamu menonton televisi.
”Bu, gimana tadi kerjanya? Capek?” tanyaku setelah aku mendudukkan diri di kursi sebelah ibu.
”Hai sayang, kerjanya lancar, kok. Lumayan capek, sih. Gimana kamu sendiri? Apa kamu merasa kesulitan terhadap perubahan lingkungan sekolahmu? Jadi anak SMA pasti bangga, ya?” Ibuku bertanya itu dengan senyum khasnya.
”Alhamdulillah tidak, kok, Bu. Prita langsung bisa menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekolah baru Prita. Hihi, ya begini ini, Bu. Jadi anak SMA jadi harus lebih dewasa daripada sebelumnya.” Tidak lupa, aku menyunggingkan senyum itu kepada ibuku. Setiap berbicara dengan ibuku, aku selalu memasang senyum tulusku. Karena aku mencintai beliau.
”Alhamdulillah. Kamu tidak makan, Nak? Biar Ibu suapin. Sudah lama ibu tidak nyuapin kamu.” Aku langsung mengumbar tawa geliku.
”Ibu ini ada-ada saja, masa Prita anak SMA mau disuapin, sih, Bu? Haha.”
Ibuku ikut-ikutan tertawa. Tawa khas ibuku.
Setelah kami menghentikan tawa tadi, aku langsung mengalihkan pembicaraan. ”Bu, sebenarnya, Prita mau bilang sesuatu sama Ibu.” Aku bisa merasakan gemetar dari bibirku. Aku selalu takut ketika berbicara dengan ibu apabila sedang meminta sesuatu. Dari kecil.
”Apa sayang?” Sekarang, ibuku tidak lagi menatap layar televisi, melainkan menatapku. Beliau sedikit memiringkan tubuhnya, agar bisa sepenuhnya menatap aku.
”Prita minta sepeda motor, ya, Bu?” Lagi-lagi aku menggigit bibir.
Mataku terus menatap mata ibu penuh ketakutan. Inilah sifat anehku. Seperti yang sudah aku jelaskan sebelumnya. Aku bisa merasakan helaan nafas ibuku mengenai tangan mungilku. Helaan nafas yang sangat keras. Aku tidak tahu apa yang sedang dirasakan ibu sekarang.
”Prita...,” kata ibuku lemah. ”Ibu tidak punya uang, Nak.” lanjutnya.
            Jegler! Kalimat itu meninju hatiku. Kalimat yang pernah diucapkan sebelumnya. 6 tahun lalu. Ketika aku meminta berbagai mainan boneka barbie kepada ibu.
Dan sekarang, kalimat itu terucap lagi. Ketika aku meminta sepeda motor.
”Kan kamu sudah punya sepeda, Nak...,” kata ibuku lagi.
Oke, aku memang mempunyai sepeda. Sepeda bututku yang ibu belikan untuk hadiah ulang tahunku ketika aku berumur 10 tahun. Tapi sekarang, aku sudah SMA. Naik sepeda? Bukannya aku gengsi, tapi sekolahku sangat jauh dari rumah. Jarak rumahku dengan sekolahku sekita 15KM. Apa dengan naik sepeda aku bisa mencapai sekolah tepat jam setengah 7? Aku pikir, itu sangatlah konyol.
”Kamu juga bisa naik ojek, Nak. Kan Mang Udin sudah jadi tukang ojek pribadimu.” Lanjut ibuku.
Naik ojek dengan Mang Udin? Itu sudah kebiasaanku dari dulu. Dia memang sudah jadi tukang ojek pribadiku. Tapi, apa salahnya aku ingin mempunyai sepeda motor pribadi? Tidak hanya dengan tukang ojek pribadi....
”Maaf, ya, Nak. Uang ibu buat makan keluarga kita.”
”Oke, tidak apa-apa, Bu. Prita mau tidur dulu. Prita capek tadi di sekolah ada tugas menumpuk.”
Aku langsung meninggalkan ibu dari sofa keluarga, dan menuju kamarku. Aku membuka pitu kamarku, dan menutupnya dengan keras—dengan kata lain; membantingnya—. Sampai kamar, kubantingkan tubuhku di kasur, dan menutupi wajahku dengan bantal.
Aku menangis sejadi-jadinya.
                                                ***
2 tahun kemudian...
AKU LULUS! Horeee!
Aku melompat-lompat kegirangan di kamarku sendiri, sambil menatap layar komputerku.
Pengumuman kelulusan SMA tahun ini, memang diumumkan via online. Dan sekarang, aku sedang membuka website dinas Surabaya. Namaku terpampang di barisan paling atas! Ya! Aku termasuk 10 besar se Surabaya! Tepatnya, aku urutan 5 teratas se Surabaya! Dengan nilai yang memuaskan! Ya tuhan, ini benar-benar keajaiban.
Aku buru-buru memberitahu kabar ini kepada ibuku.
Ibuku berada di dapur, aku langsung merangkulnya dari belakang.
”Wohoo, ada apa sayang?” Ibu mematikan kompor, dan langsung menyerbeti tanganya yang tampak kotor.
”Aku lulus, Bu! Lulus!” Aku berteriak girang sambil melpompat-lompat tidak jelas.
Tapi, reaksi ibu tidak seperti yang aku inginkan, ibu justru pergi meninggalkan aku dan menuju kamarnya.
Kalian tahu apa yang sedang aku rasakan? Sedih. Ya. Sangat sedih. Kecewa. Ibuku tidak gembira melihat aku gembira.
Tapi, tiba-tiba ibuku kembali lagi sambil membawa amplop. Amplop itu diserahkan ke aku. Aku membukanya. Dan langsung kulihat tumpukan uang yang bernominal seratus rubu rupiah. Sangat banyak. Dan aku juga menemukan buku bank. Aku membukanya dan meneukan tulisan transaksi tabungan. Di barisan paling bawah, transaksi uang di buku itu sebesar 20juta rupiah.
Mulutku menganga lebar melihat semua ini. Kutatap ibuku sambil menaikkan sebelah alis. Tapi ibuku hanya tersenyum penuh lembut.
”Itu uang tabungan Ibu, Nak.”
”Ibu..., dapat uang dari mana?” Aku masih sulit memercayai semua ini.
”Dari uang hasil kerja Ibu. Ibu sudah mengumpulkan uang ini sejak kamu kecil. Dari dulu, kamu selalu minta ini itu, tapi tidak pernah ibu belikan. Uang buat beli semua itu, Ibu tabungkan, Nak. Buat biaya kuliahmu.” Ibu tersenyum dengan lebar.
Biaya kuliahku?
Tanpa ba-bi-bu lagi, aku langsung memeluk ibu dengan tangisku yang menetes ke daster ibu. Kami berpelukan sangat erat. Ibuku juga menangis. Kami semua bahagia.
”Maafkan ibu selama ini, ya, Nak.”
Ibuku tidak salah. Ibuku sudah membahagiakan aku, dan mulai saat ini, aku juga akan membahagiakan ibuku. Harus.
                                                            ***
5 tahun kemudian...
Aku memakirkan mobil yaris merahku ke dalam pekarangan rumah masa kecilku. Setelah aku turun dari mobil itu, aku mengetuk pintu. Ketukan ke 3, tampak seorang ibu yang wajahnya sudah mulai keriput. Itu ibuku.
”Assalamu’alaikum, Bu.” Aku menyalami ibuku dengan hormat.
Ibuku kaget dengan kedatanganku tiba-tiba. Beliau langsung memelukku.
”Apa kabar, Nak?” tanya ibuku setelah melepaskan pelukan dari aku.
”Baik, Bu. Oh iya, boleh Prita masuk?” Ibuku langsung tersenyum dan menggandeng aku masuk.
Setelah berhasil duduk berdua dengan ibu, aku mengeluarkan buku dari dalam tas. Dan kukasihkan ke ibu. Tatapan ibu setelah membuka buka itu, adalah tatapan tidak percaya. Mulutnya menganga lebar.
Ya, buku itu berisi bukti pemberangkatan haji ibuku pada tahun 2019 mendatang. Aku telah mendaftarkan ibu haji. Uang itu berasal dari hasil penjualan ke 5 novelku. Semua novelku sudah menjadi best seller. Ya, sudah 4 tahun ini aku menjadi penulis. 2008 lalu, aku berhasil menerbitkan novel debutku. Novel itu diterbitkan ketika aku menjalani kuliah semester ke 3.
Cita-citaku dari dulu memang menjadi penulis. Dan sekarang, impianku tercapai. Semua berkat ibuku.
Aku juga harus memenuhi cita-cita ibuku dari dulu. Berangkat naik haji. Dan sekarang aku berhasil.
Ibuku langsung memelukku tak percaya. Beliau menangis dengan sangat kencang. Aku hanya bisa menyungginggkan senyumku.
Sekarang, ibuku berhasil membahagiakan aku, dan aku juga berhasil membahagiakan ibuku.
Ya, sekarang aku jadi mendapat pelajaran penting.
Betapa indahnya jika kita tidak membantah orang tua.
Betapa indahnya jika kita menyiapkan semuanya jauh dari sebelum hari itu.
Betapa indahnya jika kita melakukan semuanya dengan pengorbanan.
Karena pengorbanan dengan tulus, akan mendapatkan buah yang sangat manis.
Kalian tidak akan menyesal.

Kamis, 08 November 2012

DREAM OF BEING A WRITER

Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti Lomba Menulis yang  diadakan Penerbit Haru. Info: penerbitharu.wordpress.com
Kalau kita takut melakukan kesalahan, selamanya kita akan berjalan di tempat.”
Kalimat itu terucap dari mulut seorang pria idamanku. Walaupun yang mengucapkan adalah pria yang aku cintai, itu tetap saja tidak membuatku terhibur. Aku masih saja bimbang. Entah berapa kali aku mondar-mandir di teras bersama dengan si Aldi—kekasihku—, tapi tetap saja otakku tidak menemukan jawaban atas tawaran yang aku terima dari temanku, yang notabene sebagai penulis.
Satu jam yang lalu, temanku Orizuka, meneleponku dan memberi tawaran untuk mengajakku mengikuti lomba menulis yang hadiahnya sangat besar. Tapi kalian jangan salah sangka dulu, aku bukannya menginginkan hadiah besar itu, melainkan ingin menjadi pemenang dalam lomba itu. Cita-citaku dari dulu adalah menjadi seorang penulis. Penulis yang hebat dan bisa menyihir para pembaca melalui novelku.
Dan sekarang, kalian tahu apa penyebabku bimbang—yang sering disebut para remaja sekarang dengan galau—ckck, dasar anak sekarang. Aku bimbang mau mengikuti lomba itu atau tidak, karena setahun yang lalu, aku pernah mengirimkan karya tulisku ke sebuah penerbit dan ditolak! Astaga, itu langsung membuatku down dan berhenti menulis dulu selama setahun ini. Sampai sekarang. Padahal dahulu, menulis ada hobbyku.
Kalau kita takut melakukan kesalahan, selamanya kita akan berjalan di tempat.” Dan yak, kekasihku sudah berulang-ulang mengucapkan kalimat itu. Mungkin sudah seribu kali, tapi aku tetap saja bimbang.
“Benar kata Aldi, nak.” Itu suara ibuku. Secara reflek, aku menghentikan langkahku dan menghadap ke ibu. Ibuku memberi senyuman yang kulihat sebagai senyum penyemangat.
“Kamu tidak boleh jatuh terus-menerus di keterpurukan. Kamu harus bangkit dan mengejar impianmu. Kamu pasti bisa jadi penulis, nak.” Kalimat ibuku barusan langsung menggugah semangatku kembali. Karena dari dulu sampai sekarang, semangat ibu tetap jadi yang pertama. Aku pasti bisa jadi penulis. Dan harus bisa. Akhirnya, aku tersenyum kepada mereka berdua, dan membulatkan tekat untuk mengikuti lomba menulis itu.
6 bulan kemudian....
JUARA PERTAMA LOMBA MENULIS DIPEROLEH KEPADA Sdr. ADELIA AYU MUSTIKARINI. Kalimat capslock tersebut terpampang jelas di layar monitorku. Tadi, aku tidak sengaja membuka website penerbit yang mengadakan lomba novel yang aku ikuti, dan ternyata, aku menang! Juara pertama! Astaga..., aku merasa dentuman hatiku seperti sedang dihinggapi berjuta-juta kupu-kupu, dan menimbukan rasa gelitik yang gembira.
3 bulan yang lalu, aku mengirimkan tulisanku ke penerbit tadi, selama 3 bulan setelah aku mengirimkan naskahku, aku selalu saja gelisah dan takut. Takut bila naskahku tidak diterima. Aku takut kesalahan itu terjadi 2 kali lagi. Tapi selama itu, aku selalu teringat kalimat kekasihku dan ibuku. Kalau kita takut melakukan kesalahan, selamanya kita akan berjalan di tempat. Jadi, aku selalu optimis dan tawakal menanti pengumuman pemenang.
Tenyata, keoptimisanku tidak sia-sia, dan membuahkan hasil yang memuaskan. Naskahku diterima dan mendapat juara pertama! Karyaku akan dibukukan! Ya Tuhan, ini berita sangat menggembirakan! Aku harus cepat-cepat bilang ke Aldi dan ibuku! Mereka harus tau! Dan aku juga harus berterimakasih kepada 2 pahlawanku. 2 penyemangat hidupku. Sekarang dan selamanya, aku akan selalu ingat akan kalimat Aldi serta ibuku. Kalimat motivasi yang berguna. Motivasi emas. “Kalau kita takut melakukan kesalahan, selamanya kita akan berjalan di tempat.”
 *NB: Cerita ini hanyalah cerita fiksi:)
Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti Lomba Menulis yang  diadakan Penerbit Haru. Info: penerbitharu.wordpress.com
Kalau kita takut melakukan kesalahan, selamanya kita akan berjalan di tempat.”
Kalimat itu terucap dari mulut seorang pria idamanku. Walaupun yang mengucapkan adalah pria yang aku cintai, itu tetap saja tidak membuatku terhibur. Aku masih saja bimbang. Entah berapa kali aku mondar-mandir di teras bersama dengan si Aldi—kekasihku—, tapi tetap saja otakku tidak menemukan jawaban atas tawaran yang aku terima dari temanku, yang notabene sebagai penulis.
Satu jam yang lalu, temanku Orizuka, meneleponku dan memberi tawaran untuk mengajakku mengikuti lomba menulis yang hadiahnya sangat besar. Tapi kalian jangan salah sangka dulu, aku bukannya menginginkan hadiah besar itu, melainkan ingin menjadi pemenang dalam lomba itu. Cita-citaku dari dulu adalah menjadi seorang penulis. Penulis yang hebat dan bisa menyihir para pembaca melalui novelku.
Dan sekarang, kalian tahu apa penyebabku bimbang—yang sering disebut para remaja sekarang dengan galau—ckck, dasar anak sekarang. Aku bimbang mau mengikuti lomba itu atau tidak, karena setahun yang lalu, aku pernah mengirimkan karya tulisku ke sebuah penerbit dan ditolak! Astaga, itu langsung membuatku down dan berhenti menulis dulu selama setahun ini. Sampai sekarang. Padahal dahulu, menulis ada hobbyku.
Kalau kita takut melakukan kesalahan, selamanya kita akan berjalan di tempat.” Dan yak, kekasihku sudah berulang-ulang mengucapkan kalimat itu. Mungkin sudah seribu kali, tapi aku tetap saja bimbang.
“Benar kata Aldi, nak.” Itu suara ibuku. Secara reflek, aku menghentikan langkahku dan menghadap ke ibu. Ibuku memberi senyuman yang kulihat sebagai senyum penyemangat.
“Kamu tidak boleh jatuh terus-menerus di keterpurukan. Kamu harus bangkit dan mengejar impianmu. Kamu pasti bisa jadi penulis, nak.” Kalimat ibuku barusan langsung menggugah semangatku kembali. Karena dari dulu sampai sekarang, semangat ibu tetap jadi yang pertama. Aku pasti bisa jadi penulis. Dan harus bisa. Akhirnya, aku tersenyum kepada mereka berdua, dan membulatkan tekat untuk mengikuti lomba menulis itu.
6 bulan kemudian....
JUARA PERTAMA LOMBA MENULIS DIPEROLEH KEPADA Sdr. ADELIA AYU MUSTIKARINI. Kalimat capslock tersebut terpampang jelas di layar monitorku. Tadi, aku tidak sengaja membuka website penerbit yang mengadakan lomba novel yang aku ikuti, dan ternyata, aku menang! Juara pertama! Astaga..., aku merasa dentuman hatiku seperti sedang dihinggapi berjuta-juta kupu-kupu, dan menimbukan rasa gelitik yang gembira.
3 bulan yang lalu, aku mengirimkan tulisanku ke penerbit tadi, selama 3 bulan setelah aku mengirimkan naskahku, aku selalu saja gelisah dan takut. Takut bila naskahku tidak diterima. Aku takut kesalahan itu terjadi 2 kali lagi. Tapi selama itu, aku selalu teringat kalimat kekasihku dan ibuku. Kalau kita takut melakukan kesalahan, selamanya kita akan berjalan di tempat. Jadi, aku selalu optimis dan tawakal menanti pengumuman pemenang.
Tenyata, keoptimisanku tidak sia-sia, dan membuahkan hasil yang memuaskan. Naskahku diterima dan mendapat juara pertama! Karyaku akan dibukukan! Ya Tuhan, ini berita sangat menggembirakan! Aku harus cepat-cepat bilang ke Aldi dan ibuku! Mereka harus tau! Dan aku juga harus berterimakasih kepada 2 pahlawanku. 2 penyemangat hidupku. Sekarang dan selamanya, aku akan selalu ingat akan kalimat Aldi serta ibuku. Kalimat motivasi yang berguna. Motivasi emas. “Kalau kita takut melakukan kesalahan, selamanya kita akan berjalan di tempat.”
 *NB: Cerita ini hanyalah cerita fiksi:)
 
Elphin Books Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template